KELAS : 3PA08
KELOMPOK 5
- ADE MAHESA (18511628) : http://ademahesa12.blogspot.com/
- DINI KUSUMANINGRUM (12511159) : http://dinikdini.blogspot.com/
- FELIK ASLAM POHAN (12511802) : http://celotehnyafelik.blogspot.com/
A.
Pengantar
Analisis
transaksional (AT) adalah psikoterapi transaksional yang dapat digunakan dalam
terapi individual, tetapi ini lebih cocok
digunakan untuk terapi kelompok. AT berbeda dengan sebagian besar terapi lain
karena merupakan suatu terapi kontraktual dan desisional. AT melibatkan suatu
kontrak yang dibuat oleh klien, yang dengan jelas menyatakan tujuan-tujuan dan
arah proses terapi. AT juga berfokus pada putusan-putusan awal yang dibuat oleh
klien dan menekankan kemampuan klien untuk membuat putusan-putusan baru. AT
menekankan aspek-aspek kognitif rasional-Behavior dan berorientasi pada
peningkatan kesadaran sehingga klien akan mampu membuat putusan-putusan baru
dan mengubah cara hidupnya.
Pendekatan
ini dikembangkan oleh Eric Berne, berlandaskan suatu teori kepribadian yang berkenaan dengan analisis
struktural dan transaksional. Teori
ini menyajikan suatu kerangka bagi analisis terhadap tiga kedudukan ego yang
terpisah, yaitu : orang tua, orang dewasa,
dan anak. Teori Berne menggunakan beberapa kata utama dan menyajikan suatu
kerangka yang bisa dimengerti yang dipelajari dengan mudah. Kata-kata utamanya
adalah orang tua, orang dewasa, anak, putusan, putusan ulang, permainan,
skenario, pemerasan, dicampuri, pengabaian, dan ciri khas. Karena sifat
operasional AT dengan kontraknya, taraf perubahan klien bisa dibentuk.
B.
Perwakilan-perwakilan Ego
AT adalah suatu sistem terapi yang berlandaskan
teori kepribadian yang menggunakan tiga pola tingkah laku atau perwakilan ego
yang terpisah, yaitu ego orang tua, ego orang dewasa, dan ego anak.
Kondisi ego orang tua (O) atau aslinya
disebut oleh Berne dengan exteropsyche adalah
prototype yang dtampilkan seseorang
seperti layaknya bokap nyokap. Yakni penampilan yang terikat kepada sistem
nilai, moral dan serangkaian kepercayaan. Bentuk nyatanya berupa pengontrolan,
membimbing, membantu mengarahkan, menasehati, menuntun atau dapat pula mengecam,
mengkritik, mengomand, melarang, mencegah atau memerintah.
Kondisi ego orang dewasa (D) atau neopsyche adalah reaksi yang bersifat
realistis dan logis. Status ego ini sering disebut komplek. Karena bertindak
dan mengambil keputusan berdasarkan hasil pemrosesan informasi dari data dan
fakta lapangan.
Kondisi ego anak (A) atau archaeopsyche
merupakan keadaan dan reaksi emosi yang kadang-kadang adaptif, intuitif,
kreatif, dan emosional, tetapi kadang-kadang juga bertindak lepas, ingin
terbebas dari pengaruh rang lain.
C.
Tujuan Analisis
Transaksional
Tujuan
dasar Analisis Transaksional adalah membantu klien dalam membuat
putusan-putusan baru yang menyangkut tingkah lakunya sekarang dan arah
hidupnya. Sasarannya adalah mendorong klien agar menyadari bahwa kebebasan
dirinya dalam memilih telah dibatasi oleh putusan-piutusan diri mengenai posisi
hidupnya dan oleh pilihan terhadap cara-cara hidup yang mandul dan
deterministik. Inti terapi adalah menggantikan gaya hidup yang ditandai oleh
permainan yang manipulatif dan oleh skenario-skenario hidup yang mengalahkan
diri, dengan gaya hidup otonom yang ditandai dengan kesadaran, spontanitas, dan
keakraban.
Harris
(dalam Corey, 2013) melihat tujuan AT untuk membantu individu agar “memiliki
kebebasan memilih, kebebasan mengubah keinginan, kebebasan mengubah
respon-respon terhadapt stimulus-stimulus yang lazim maupun yang baru”.
Pemulihan “kebebasan untuk
mengubah” itu berlandasakan pengetahuan tentang ego orang tua dan ego anak
serta tentang bagaimana kedua ego itu memasuki transaksi-transaksi terepeutik.
Pada dasarnya menyertakan pembebasan ego orang dewasa dari pencemaran dan pengaruh-pengaruh
merusak yang dihasilkan oleh ego orang tua dan ego anak. Sebagaimana di
nyatakan oleh Harris (dalam Corey, 2013), tujuan pemberian treatment adalah
menyembuhkan gejala yang timbul dan metode tritmen adalah membebaskan ego orang
dewasa sehingga bisa mengalami kebebasan memilih dan penciptaan pilihan-pilihan
baru di atas dan seberang pengaruh-pengaruh masa lampau yang membatasi. Menurut
Harris, tujuan terapeutik itu dicapai dengan mengajarkan kepada klien
dasar-dasar ego orang tua, orang dewasa, dan ego anak. Para klien dalam setting
kelompok itu belajar bagaimana menyadari, mengenali, dan menjabarkan ketiga ego
selama ego-ego tersebut muncul dalam transaksi-transaksi dalam kelompok.
Berne
(dalam Corey, 2013) menyatakan bahwa tujuan utama AT adalah pencapaian otonomi
yang diwujudkan oleh penemuan kembali tiga karakteristik, yaitu kesadaran,
spontanitas, dan keakraban.
D.
Skenario-skenario Kehidupan dan Posisi-posisi
Psikologis Dasar
Skenario-skenario
kehidupan adalah ajaran-ajaran orang tua yang kita pelajari dan putusan-putusan
awal yang dibuat oleh kita sebagai anak, yang selanjutnya dibawa oleh kita
sebagai orang dewasa. Kita menerima pesan-pesan dan dengan demikian kita
belajar dan menetapkan tentang bagaimana kita pada usia dini. Pesan-pesan
verbal dan non verbal orang tua mengomunikasikan bagaimana mereka melihat kita
dan bagaimana kita merasakan diri kita. Kita membuat putusan-putusan dini yang
memberikan andil pada pembentukan perasaan sebagai pemenang (perasaan OK) atau
perasaan sebagai orang yang kalah (perasaan tidak OK).
Berkaitan
dengan konsep-konsep skenario kehidupan, pesan-pesan dan perintah-perintah
orang tua, serta putusan-putusan dini itu adalah konsep dalam AT tentang empat
posisi dasar dalam hidup, yaitu:
(1)
“saya
OK - kamu OK”
Posisi yang
sehat adalah posisi dengan perasaan sebagai pemenang atau posisi saya OK – kamu
OK. Dalam posisi ini, dua orang
merasa seperti pemenang dan bisa menjalin hubungan langsung yang terbuka.
(2)
“saya
OK - kamu tidak OK”
Saya OK –
kamu tidak OK adalah posisi orang-orang yang memproyeksikan masalah-masalahnya
kepada orang lain dan mempersalahkan orang lain. Ia adalah posisi yang arogan
yang menjauhkan seseorang dari orang lain dan mempertahankan seseorang dalam
penyingkiran diri.
(3)
“saya
tidak OK - kamu OK”
Saya tidak
OK - kamu OK adalah posisi orang yang mengalami depresi, yang merasa tak kuasa
dibanding dengan orang lain dan yang cenderung menarik diri atau lebih suka
memenuhi keinginan orang lain ketimbang keinginan sendiri.
(4)
“saya
tidak OK - kamu tidak OK”
Saya tidak
OK – kamu tidak OK adalah posisi orang-orang yang menyingkirkan semua harapan
yang kehilangan minat hidup dan melihat hidup sebagai tidak mengandung harapan.
Masing-masing
posisi itu berlandaskan putusan-putusan yang dibuat orang sebagai hasil dari
pengalaman dini dimasa kanak-kanak. Jika seseorang telah membuat suatu putusan,
maka dia pada umumnya akan bertahan pada putusannya itu kecuali jika ada campur
tangan (terapi atau kejadian tertentu) yang mengubahnya.
E.
Prosedur-Prosedur
Terapeutik
Dalam
praktek AT, teknik-teknik dari berbagai sumber, terutama pada terapi Gestalt,
memiliki prosedu-prosedur yang mengasikan yang dikawinkan antara analisis
transaksional dan terapi gestalt. James dan jongeward dalam (Corey, 2013)
menggabungkan konsep-konsep dan proses-proses AT dengan eksperimen-eksperimen
gestalt. Dengan pendekatan hubungan itu, ia mendemonstrasikan peluang yang
lebih besar untuk mencapai kesadarn diri dan otonomi.
Sisa
bagian ini disediakan bagi uraian ringkas tentang proses-proses,
prosedur-prosedur, dan teknik-teknik yang umum digunakan dalam prakteknanalisis
transaksional. Sebagian besar metode dan proses terapeutik AT ini bisa
diterapkan pada terapi individual maupun pada terapi kelompok. Meskipun bisa
dijalankan secara efektif diatas landasa pribadi ke pribadi, kelompok adalah
wahana yang terpenting bagi perubahan pendidikan dari terapeutik dari terapi
AT.
1.
Analisis
Struktural
Analisis
struktural adalah alat yang dapat membantu klienb agar menjadi sadar atas isi
dan fungsi ego orang tua, ego orang dewasa, dan ego anaknya. Para klien AT
belajar bagaimana mengenalimketiga perwakilan egonya itu. Analisis struktural
membantu klien dalam merubah pola-pola dirasakan menghambat. Ia juga membantu
klien dalam menemukan perwakilan ego yang mana menjadi landasan tingkah
lakunya. Dengan penemuannya itu klien bisa memperhitungkan pilihan-pilihannya.
2. Analisis Transaksional
Analisis transaksional pada dasarnya adalah
suatu penjabaran atas analisi yang dilakukan dan dikatakan oleh orang0orang
terhadap satu sama lain. Apapun yang terjadi, orang-orang melibatkan suatu
transaksi diatara perwakilan-perwakilan ego mereka. ketika pesan-pesan
disampaikan, diharapkan ada respon. Ada tiga tipe transakis yaitu,
komplementer, menyilang, dan terselubung. Transaksi komplementer terjadi
apabila suatu pesan disampaikan oleh suatu perwakilan seseorang memperoleh
respon yang diprakirakan dari perwakilan ego seseorang lainnya. Sebagai contoh
adalah transaksi anak-anak nyang suka bermain. Transaksi menyilang terjadi
apabila respon yang tidak diharapkan diberikan kepada suatu pesan yang
disampaikan oleh seseorang yang harus berperilaku tidak sesuai dengan umurnya.
Transaksi terselubng yang merupakan suatu transaksi yang kompleks, terjadi
apabila lebih dari satu perwakilan ego terlbiat serta seseorang menyampaikan
kesan terselubung kepada seseorang yang lainnya.
3. Kursi Kosong
Kursi kosong adalah suatu prosedur yang sesuai
analisis struktural. Bagaimana kursi kosong itu dijalankan? Umpamanya seorang
klien mengalami kesulitan dalam menghadapi boss-nya (ego orang tua). Klien
diminta untuk membayangkan bahwa seseorang tengah duduk di sebuah kursi
dihadapannya dan mengajaknya berdialog. Prosedur ini memberikan kesempatan
kepada klien untuk menyatakan pikiran-pikiran, perasaan-perasaan, dan
sikap-sikapnya selama dia menjalankan peran-peran perwakilan-perwakilan egonya.
Klien tidak hanya mempertajam kesadarannya, dalam kasus ini ego orang tuanya,
tetapi juga kedua ego lainnya (anak dan orang dewasa) yang biasanya memiliki
ciri-ciri tertentu dalam hubungannya dengan keadaan yang dibayangkan. Teknik
kursi kosong bisa digunakan oleh orang-orang yang mengalami konflik-konflik
internal yang hebat guna memperoleh fokus yang lebih tajam dan pegangan yang
kongkret bagi upaya pemecahan.
4. Permainan Peran
Prosedur-prosedur
AT juga bisa digabungkan dengan teknik-teknik psikodrama dan permainan peran.
Dalam terapi kelompok, situasi-situasi permainan peran bisa melibatkan para
anggota lain. Seorang anggota kelompok memainkan peran sebagai perwakilan ego
yang menjadi sumber masalah bagi seorang anggota lainnya, dan ia berbicara
kepada anggota tersebut. Para anggota yang lain pun bisa menjalankan permainan
peran serupa dan boleh mencobanya diluar pertemuan terapi. Bentuk permainan
lainnya adalah permainan yang menonjolkan gaya-gaya khas dari ego orang tua
yang konstan, ego orang dewasa yang konstan, dan ego anak yang konstan, atau
permainan-permainan tertentu agar memungkinkan klien memperoleh umpan balik
tentang tingkah laku sekarang dalam kelompok.
5. Analisis Sekenario
Analisis sekenario adalah bagian dari proses terapeutik yang memungkinkan pola hidup yang
diikuti oleh hidup individu bisa dikenali. Analisis sekenario bisa menunjukan
kepda individu prose yang dijalaninnya dalam memperoleh sekenario dan
cara-caranya membenarkan tindakan-tindakan yang tertera pada sekenario. Ketika
menjadi sadar atas sekenario kehidupannya, orang siap untuk melakukan sesuatu
untuk menuba pemperograman. Orang tindak menelantarkan dirinya sebagai korban
dari pembentukan sekenario karena melalui kekerasan, dia menghadapi kemungkina
untuk memutuskan ulang. Analisis sekenario membuka alternatif-alternatif baru
yang menjadikan orang bisa memilih sehingga dia tidak lagi merasa dipaksa
memainkan permainan-permainan mengumpulkan perasan-perasan untuk membenarkan
tindakan tertentu yang dilaksanakan menurut plot sekenario.
F.
Contoh Kasus Analisis
Transaksional
KASUS 1
Hasta adalah anak yang patuh dan penurut kepada orangtuanya. Baginya, orangtua adalah orang yang selalu dihormati dan ditaati. Sejak kecil, Hasta memang selalu diarahkan orangtuanya. Tidak boleh ini, tidak boleh itu. Harus yang ini, harus yang itu, dsb. Dia jarang sekali dibiarkan membuat pilihannya sendiri. Hal itu juga terjadi dalam pemilihan arah pendidikan. Dari TK hingga SMA, semua ditentukan oleh orangtua. Tidak ada yang dipilih sendiri oleh Hasta. Dia selalu menurut saja. Orangtuanya ingin Hasta menjadi seorang dokter. Hasta merasa tidak ingin jadi dokter tapi dia tidak mau dan tidak bisa melawan keinginan orangtua. Dia merasa tidak memiliki kekuatan atas jalan hidupnya sendiri. Hasta menurut saja jika dipersiapkan untuk menjadi seorang dokter dengan les tambahan di bimbingan belajar, baik klasikal maupun privat. Kemudian Hasta berhasil diterima di Jurusan Kedokteran Umum. Orangtuanya senang sekali, merasa telah sukses mengarahkan anaknya. Tapi Hasta tidak nyaman dengan hal tersebut. Sebenarnya dia ingin belajar sastra.Hasta pernah sekali mengungkapkan keinginannya itu. Tapi orangtua tidak mau tahu dan selalu melarang Hasta belajar sastra. Menurut Hasta, orangtuanya berpikir bahwa pilihan terbaik adalah apa yang diputuskan oleh orangtua, bukan Hasta yang hanya seorang anak. Hasta menjalani kuliah di kedokteran dengan tidak semangat dan tertekan. Dia merasa bukan ini yang ingin dilakukan. Dia ingin sekali keluar dari jurusan kedokteran. Akibatnya, pada semester pertama, nilainya sudah jeblok. Orangtua hanya bisa marah-marah , menyuruh Hasta serius kuliah, tidak memikirkan hal lain, apalagi sastra. Karena hal itu, Hasta semakin merasa tertekan dan stres. Dia ingin memiliki kekuasaan atas pilihan jalan hidupnya sendiri, tapi tak sanggup melawan ego orangtua.
Hasta adalah anak yang patuh dan penurut kepada orangtuanya. Baginya, orangtua adalah orang yang selalu dihormati dan ditaati. Sejak kecil, Hasta memang selalu diarahkan orangtuanya. Tidak boleh ini, tidak boleh itu. Harus yang ini, harus yang itu, dsb. Dia jarang sekali dibiarkan membuat pilihannya sendiri. Hal itu juga terjadi dalam pemilihan arah pendidikan. Dari TK hingga SMA, semua ditentukan oleh orangtua. Tidak ada yang dipilih sendiri oleh Hasta. Dia selalu menurut saja. Orangtuanya ingin Hasta menjadi seorang dokter. Hasta merasa tidak ingin jadi dokter tapi dia tidak mau dan tidak bisa melawan keinginan orangtua. Dia merasa tidak memiliki kekuatan atas jalan hidupnya sendiri. Hasta menurut saja jika dipersiapkan untuk menjadi seorang dokter dengan les tambahan di bimbingan belajar, baik klasikal maupun privat. Kemudian Hasta berhasil diterima di Jurusan Kedokteran Umum. Orangtuanya senang sekali, merasa telah sukses mengarahkan anaknya. Tapi Hasta tidak nyaman dengan hal tersebut. Sebenarnya dia ingin belajar sastra.Hasta pernah sekali mengungkapkan keinginannya itu. Tapi orangtua tidak mau tahu dan selalu melarang Hasta belajar sastra. Menurut Hasta, orangtuanya berpikir bahwa pilihan terbaik adalah apa yang diputuskan oleh orangtua, bukan Hasta yang hanya seorang anak. Hasta menjalani kuliah di kedokteran dengan tidak semangat dan tertekan. Dia merasa bukan ini yang ingin dilakukan. Dia ingin sekali keluar dari jurusan kedokteran. Akibatnya, pada semester pertama, nilainya sudah jeblok. Orangtua hanya bisa marah-marah , menyuruh Hasta serius kuliah, tidak memikirkan hal lain, apalagi sastra. Karena hal itu, Hasta semakin merasa tertekan dan stres. Dia ingin memiliki kekuasaan atas pilihan jalan hidupnya sendiri, tapi tak sanggup melawan ego orangtua.
KASUS 2
Ego State Therapy for Children
Mengapa saya jatuh cinta dengan Ego State Therapy ? Karena teknik ini sangat SIMPEL dan POWERFUL dimana teknik ini dapat dilakukan tanpa induksi samasekali. Nama tekniknya adalah Resistance Bridging. Teknik ini diciptakan khusus bagi orang yang tidak ingin dihipnosis karena ga mau dibuat mainan seperti yang sering dilihat di televisi. Bahkan alumni saya yang sudah berjalan sekitar 25 angkatan mengatakan bahwa teknik ini ternyata mudah sekali, terutama bagi mereka yang pernah belajar hypnosis, teknik ini membantu mereka memahami lebih mudah khususnya dalam melakukan terapi. Dalam satu pelatihan Ego State Therapy saya, ada satu kasus menarik dimana yang menjadi contoh kasus adalah seorang anak kelas 6 SD. Anak ini merasa takut berada di tempat gelap karena masih sukam dibayang-bayangi film horor “The SAW”. Film ini didapat dari temannya. Lalu saya menggunakan teknik ego state therapy dengan menggunakan kursi yang dikenal dengan nama empty chair. Anak tersebut tertarik dengan semua film kartun. Dan salah satu favorit dia adalah Doraemon. Lalu saya memakai doraemon ini sebagai salah satu ego statenya atau introject. kemudian saya menanyakan kepada dia, dilambangkan siapa si rasa takutnya tersebut. Dia sebut nobita. Dan kita bermain-main dengan menggunakan Nobita dan doraemon. Anak tersebut saat memerankan doraemon, dia memberikan pil berani, baju terang, helm motivasi serta komputer pemrogram otak. Dan walhasil saat sudah dilakukan play therapy kesembuhannya langsung terlihat. Peserta juga happy karena play therapy benar-benar fun banget.
Mengapa saya jatuh cinta dengan Ego State Therapy ? Karena teknik ini sangat SIMPEL dan POWERFUL dimana teknik ini dapat dilakukan tanpa induksi samasekali. Nama tekniknya adalah Resistance Bridging. Teknik ini diciptakan khusus bagi orang yang tidak ingin dihipnosis karena ga mau dibuat mainan seperti yang sering dilihat di televisi. Bahkan alumni saya yang sudah berjalan sekitar 25 angkatan mengatakan bahwa teknik ini ternyata mudah sekali, terutama bagi mereka yang pernah belajar hypnosis, teknik ini membantu mereka memahami lebih mudah khususnya dalam melakukan terapi. Dalam satu pelatihan Ego State Therapy saya, ada satu kasus menarik dimana yang menjadi contoh kasus adalah seorang anak kelas 6 SD. Anak ini merasa takut berada di tempat gelap karena masih sukam dibayang-bayangi film horor “The SAW”. Film ini didapat dari temannya. Lalu saya menggunakan teknik ego state therapy dengan menggunakan kursi yang dikenal dengan nama empty chair. Anak tersebut tertarik dengan semua film kartun. Dan salah satu favorit dia adalah Doraemon. Lalu saya memakai doraemon ini sebagai salah satu ego statenya atau introject. kemudian saya menanyakan kepada dia, dilambangkan siapa si rasa takutnya tersebut. Dia sebut nobita. Dan kita bermain-main dengan menggunakan Nobita dan doraemon. Anak tersebut saat memerankan doraemon, dia memberikan pil berani, baju terang, helm motivasi serta komputer pemrogram otak. Dan walhasil saat sudah dilakukan play therapy kesembuhannya langsung terlihat. Peserta juga happy karena play therapy benar-benar fun banget.
KASUS 3
Contoh
kasus penerapan analisis transaksional di sekolah
Banyak
laporan, terutama dari praktioner (penganut) AT, bahwa AT berhasil dengan
memuaskan. Banyak klien yang telah disembuhkan dengan cara ini, serta “decak
kagum “ pun dialamatkan pada temuan Berne ini. Terbentuknya perhimpunan AT,
ITAA, dan terbitnya jurnal AT membuktikan bahwa AT sebagai suatu pendekatan
yang sudah besar dan berkembang luas dikalangan ahli terapi.
Persoalan
sekarang, apakah keberhasilan AT ini dapat pula diterapkan disekolah, terutama
di sekolah kita Indonesia yang berlandaskan filsafat Pancasila? Persoalan ini
tidaklah sederhana. Keterampilan AT pada klinik Psikologi boleh jadi cocok atau
boleh jadi tidak. Penerapan yang tepat meminta uji coba yang cukup matang.
Secara
rasional, keberhasilan AT di klinik-klinik Psikoterapi mungkin sekali kita
rekrut ke sekolah. Malah kita lebih optimis lagi, karena dapat mengamati
langsung perubahan klien di luar ruangan konseling. Betapa tidak, titik sentral
dari analisisnya terletak pada transaksi. Selama klien masih berada di sekolah,
selama itu pula kita dapat menganalisis transaksinya baik dengan temannya atau
gurunya.
Lebih
optimis lagi, bahwa AT dapat berhasil bila digunakan sebagai penyuluh kelompok.
Karena orang yang sehat kreteria AT adalah yang punya perasaan bebas untuk
menentukan pilihannya. Transaksi yang digunakan adalah terciptanya transaksi
antar status ego Dewasa. Kemungkinan tumbuh dan berkembang transaksi antar ego
Dewasa ini lebih besar dengan teman sebaya. Jadi kondisi ini memungkinkan
konselor menerapkan AT sebagai penyuluh kelompok di sekolah.
Kondisi
sekolah yang menunjang penerapan AT sebagai pendekatan penyuluhan kelompok ini,
justru sebaliknya bagi penyuluh individual. Harapan agar komunikasi atau
transaksi antara konselor – klien dapat terbentuk transaksi antara ego state
dewasa-dewasa, justru sulit terbina. Karena adanya jarak antara Konselor dengan
Klien. Jarak itu adalah faktor usia. Konselor lebih cenderung jauh lebih tua
dari klien yang siswa ( 12 – 15 untuk SMTP, 15 – 19 tahun untuk SMTA). Karena
itu transaksi yang mungkin sering muncul adalah antara ego state Dewasa
(Konselor) – Anak-anak (Pada siswa).
Kondisi
ini ditopang oleh faktor budaya kita. Indonesia sebagai bangsa yang
berlandaskan pada Pancasila bukanlah negara yang berfaham Liberal. Adat dan
sopan santun ketimuran selalu melengket pada masyarakat Indonesia. Cara
berbicara dengan orang yang sama besar atau lebih kecil tidak sama dengan cara
berbicara dengan orang yang dihormati dan atau lebih besar. Pada beberapa
daerah, bahasa yang digunakanpun juga berbeda, lebih halus dan lembut. Karena
itu, keberhasilan AT pada masyarakat Amerika yang egaliter belim tentu bisa
sama dengan masyarakat kita.
Corey, Gerald. 2013. Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi. Bandung : PT. Refika Aditama
Gunarsa, Sanggih. 2007. Konseling dan Terapi. Jakarta : PT. BPK Gunung Mulia
http://www.slideshare.net/breacle/konseling-analisis-transaksional
Tidak ada komentar:
Posting Komentar